Beranda | Artikel
Antara Syubhat, Wara (Berhati-bati) dan Ghuluw (Berlebih-lebihan) pada Makanan
Jumat, 20 Mei 2016

Perlu diketahui bahwa hukum makanan adalah halal dan ini yang disampaikan oleh ulama melalui kaidah:

الاصل في الأشياء الإباحة

“Hukum asal sesuatu (muamalah) adalah boleh”[1]

Inilah yang disebut HUKUM ASAL , kaidah yang disusun ulama dan memudahkan kita, sehingga jika kita ragu-ragu maka dikembalikan ke hukum asalnya. Misalnya:

-Kita ragu-ragu apakah wudhu kita batal atau tidak, maka hukum asalnya kita sudah berwudhu, jadi buang jauh keraguan tersebut dan kembali ke hukum asal kita sudah berwudhu.

-Kita ragu-ragu apakah kita sudah berwudhu atau tidak, maka hukum asalnya kita belum berwudhu

Ini perintah agama agar kita selalu membuang keragu-raguan jika kita mampu, karena hidup terlalu banyak dalam keraguan tidak baik dan ini sebagaimana hadist[2]

Karenanya jika ada bukti NYATA Dan PASTI ada yang haram pada makanan barulah hukumnya haram, BUKAN sekedar diperkirakan atau sekedar dugaan saja, Karena suatu yang yakin tidak bisa hilang dengan keraguan.
اليقين لا يزول بالشك

“Sesuatu yang yakin itu tidak bisa hilang dengan keraguan.”

Tidak bisa mengatakan haram dengan alasan dugaan saja“Jangan-jangan dicampur haram, diperkirakan pakai zat haram”

Jika ada makanan yang masih dugaan dan ragu-ragu apakah tercampur haram atau prosesnya haram, maka DIKEMBALIKAN ke hukum asalnya yaitu halal

Karenanya kurang tepat jika mengatakan secara UMUM:
“Makanan ini haram karena belum ada sertifikat halal”

Silahkan baca pembahasan lengkap hal ini di sini[3]

Hukum asal ini bisa bergeser  (pengecualian) jika ada indikasi dan bukti kuat. Inilah yang menjadi kesalahpaham sebagian orang akan “hukum asal”

contoh:

-Hukum asal makanan halal (daging sembelihan), tetapi bagi yang tinggal di daerah mayoritas musyrik, maka hukum asal sembelihan dan daging sapi di situ adalah haram, maka ia harus wara’ (hati-hati)

-Hukum asal makanan halal, tetapi jika ia menemukan makanan, apel misalnya, maka hukum asal apel itu haram dimakan, karena BUKAN miliknya, maka ia harus wara’

-Ia lupa apakah ini adalah kue ini yang dikasi untuk dia atau atau untuk tetangganya, karena ragu-ragu, maka kue ini menjadi syubhat, dan inilah maksud meninggalkan syubhat

Mengenai SYUBHAT, ini juga perlu dipahami:

1.Syubhat itu ragu-ragu dan belum jelas yaitu masih belum jelas antara halal dan haram. Kita diperintahkan menghindarinya, JIKA BELUM bisa menyingkirkan “belum jelasnya”  atau belum bisa memastikan HALAL sebagaimana hadist[4]

Misalnya: Ia lupa apakah ini adalah kue ini yang dikasi untuk dia atau atau untuk tetangganya, karena ragu-ragu bukan miliknya, maka kue ini menjadi syubhat, dan inilah maksud meninggalkan syubhat

2.Syubhat ini RELATIF, bisa jadi bagi orang ini syubhat dan bagi orang lain tidak syubhat, karena orang lain lebih berilmu, sedangkan ia tidak berilmu. Jadi tidak boleh, dia menyebarluaskan atau mengumumkan “ini syubhat” ke semua orang

Karenanya haditsnya berbunyi”

لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ

“Tidak diketahui oleh oleh banyak orang”

Karenanya syaikh Al-‘Utsaimin menjelaskan hadits ini, bahwa berarti banyak yang tahu, banyak juga yang tidak tahu, karena hadist tidak mengatakan “mayoritas (أكثر)”. Beliau menjelaskan:

فكثير لا يعلم وكثير يعلم، ولم يقل : لايعلمهن أكثر الناس

“Banyak yang tidak tahu, banyak juga yang tahu, hadits tidak berkata: mayoritas manusia tidak tahu”[5]

Apalagi jika sudah ada yang berilmu dan tahu hukumnya, maka menjadi hujjah bagi yang tidak berilmu.

 

SEHINGGA:
kita tidak bermudah-mudah:
1.Mengecap suatu makanan “syubhat” hanya berdasarkan dugaan saja dan perkiraan saja, padahal hukum asal makanan halal dan tidak ada yang menjadi penyebab “hukum asalanya” bergeser (pengcualian) menjadi haram.

2.Tidak bermudah-mudah mengecap haram suatu makanan hanya berdasarkan sangkaan dan dugaan saja

Semoga ini bisa memperjelas, yaitu kisah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diberi hadiah daging kambing oleh wanita Yahudi dan daging tersebut diberi racun.

Silahkan baca disini kisahnya[6]

Perhatikan yang memberi hadiah adalah wanita Yahudi. Memang sembelihan ahli kitab adalah halal.

Tetapi jika telah NYATA dan ada bukti NYATA mereka:

1.Menyembelih dengan menyebut nama selain Allah, maka haram daging tersebut

2.menyembelih dengan cara yang tidak syar’i, maka haram daging tersebut

Tetapi jika tidak ada bukti dan hanya prasangka saja, maka tidak bisa menghilangkan hukum asalnya yaitu halal. Apalagi kita ketahui bagaimana sifat Yahudi. Tetapi Nabi shallallahu alaihi wa sallam menerima saja hadiah daging hadiah dari Yahudi dan daging tesebut dimakan oleh beliau.

 

BOLEH SAJA HATI-HATI AKAN TETAPI JANGAN SAMPAI GHULUW (BERLEBIHAN), SEHINGGA MENJADI TAKALLUF (MEMBEBANI SEHINGGA MENYUSAHKAN SENDIRI)

Dari kisah pemberian daging yahudi, maka tidak ghuluw dengan takalluf berlebihan, misalnya:
“Diakan yahudi, jangan-jangan nyebut nama “Y***S” ketika menyembelih, haram dunk”

“Yahudi kan sifatnya sudah tahu deh, jangan-jangan ini daging gak galal”

Demikian juga “terlalu kritis yang menyebabkan ghuluw” dalam menyikapi halal suatu makanan. Boleh-boleh saja kritis tetapi perhatikan kaidah dan batasan ulama.

Contoh ghuluw dalam hal ini: ada “mie ayam pinggir jalan”
Tanya ke pedagangnya:
-Ini ayamnya halal pak?
-Ada sertifikat halal?
-Ayamnya disembelih dengan syar’i benar pak?
-Oya bapak muslim kan? Karena sembelihan musyrik haram
-Oh ayamnya di beli di pemotongannya ya? Yakin pak di sana dipotong syar’i?
-Tukang sembelih lupa baca bismillah gak?
-Kalau sembelinya syar’i, yakin gak wadah dagingnya gak bekas wadah babi?
Beberapa saat kemudian:
-Oh jadi ayamnya, bapak sendiri yang sembelih dan dengan bismillah, oya pak ini kecap yang dipakai halal pak?

-Ini kecap kan sudah terkenal sekali, apa sudah ada serifikat halalnya?

-O iya, metcin dan penyedap rasa ini yang dipakai halal juga gak pak? Jangan-jangan produk impor

 

Beberapa saat kemudian:

-Nah, kerupuk ini halal gak pak? Jangan-jangan tepung dan minyak goreng serta bumbunya gak halal dan belum ada setifikat halal

Kalau sudah seperti ini, maka ini yang disebut “ghuluw yang menyebabkan takalluf (terlalu membebani).

Contoh lagi:
ini sudah ada sertifikat halalnya, tetapi kok bisa rasanya enak sekali ya? Jangan-jangan hanya pas pengujian saja dia nampakkan bahan-bahan yang halal, jadi pas selama pengujian dan audit yang ditemukan oleh tim editor halal semua, Jangan-jangan setelah dapat setifikat halal ia kebali memasukkan resep-resep haram yang membuat enak, jangan-jangan….

 

TENANG DENGAN KAIDAH ULAMA:

Kaidah yang dibuat ulama ini akan menbuat kita tenang dalam menyikap hal ini, tidak takalluf yang sampai terlalu membebani. Jadi,  silahkan pilih bagaimana dalam menyikapi hal ini.

 

Demikian semoga bermanfaat

 

@Laboratorium RS Manambai, Sumbawa Besar – Sabalong Samalewa

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

 

[1] Dan cabang kaidahnya:

الأصل في الأطعمة والأشربة الإباحة

“Hukum asal makanan dan minuman adalah halal”

[2] Yaitu hadits:

دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ.

‘Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu’.” [Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan an-Nasâ`i. At-Tirmidzi berkata,“Hadits hasan shahîh]

[3] baca: https://muslim.or.id/23082-tidak-ada-sertifikasi-halal-mui-haram.html

[4] Yaitu hadits berikut:

فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ، وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ

“Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang samar (belum jelas status halal atau haramnya) maka sungguh dia telah menjaga kesucian agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam hal-hal yang samar tersebut maka berarti dia telah terjerumus ke dalam perkara yang haram (dilarang dalam Islam)…”. (HR. Muslim, no 1599)

[5] Syarh Arbain An-Nawawiyah 2/7 , syamilah

[6] Baca: https://muslimafiyah.com/nabi-muhammad-shallallahu-alaihi-wa-sallam-wafat-syahadah-membawa-sisa-racun.html


Artikel asli: https://muslimafiyah.com/antara-syubhat-wara-berhati-bati-dan-ghuluw-berlebih-lebihan-pada-makanan.html